“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” itulah pekikan takbir
pembangkit semangat rakyat Indonesia dalam usaha mereka melawan penjajah. Mereka
berjuang bersama bukan untuk mencari gelar sebagai orang yang berjasa, atau
ingin disebut pahlawan. Mereka berjuang untuk satu tujuan, yaitu “Merdeka!”
Mungkin kita
masih mengingat, bulan September enam puluh tahun yang lalu arek-arek suroboyo
berbondong-bondong merobek bendera biru pada bendera belanda agar terlihat
bendera Indonesia yang berkibar di atas Hotel Yamato, Surabaya. Indonesia saat
itu baru satu bulan merasakan kemerdekaan, karena itu arek-arek suroboyo
berteguh bahwa bendera selain bendera Indonesia tidak pantas dikibarkan.
Sungguh peristiwa yang sangat heroik dilakukan oleh arek-arek suroboyo.
Atau mungkin
kita masih mengingat, bulan November pada tahun yang sama terjadi pertempuran
sengit antara rakyat dengan pasukan NICA. NICA yang dibuntuti Belanda
menginginkan Indonesia menjadi jajahan mereka kembali setelah Jepang menyerah
pada sekutu. Sumber alam yang melimpah, kekayaan diberbagai sektor penting
membuat Belanda tidak ingin kehilangan tanah Indonesia.
Karena itu,
seorang tokoh asal Malang, Bung Tomo, menyerukan kepada arek-arek suroboyo
untuk bekerjasama dengan arek-arek Malang mengusir tentara NICA dan sekutunya
dari Indonesia. Bung Tomo berpendapat, sebelum wilayah Jawa Timur dikuasai dan
dilucuti, sebaiknya tentara NICA dihabisi di sebelah utara Jawa Timur. Bung
Tomo juga mendapat dukungan yang besar dari Ulama Jawa Timur untuk menghabisi
tentara NICA. Bahkan para Ulama mewajibkan santri-santrinya untuk ikut
berjuang.
Pertempuran
mencapai puncak pada 10 November, dimana pasukan NICA dan sekutu bertempur
habis-habisan melawan rakyat. Rakyat hanya menggunakan senjata seadanya,
sedangkan pasukan NICA dan sekutu menggunakan senapan dan senjata berat seperti
panser dan tank. Alhasil, pasukan NICA dan sekutu kalah dan diusir dari
Indonesia. Hal ini juga diperparah dengan meninggalnya Jendral NICA terkuat, A.W.S.
Mallaby.
Benar-benar
perjuangan yang besar dilakukan Bung Tomo, arek-arek suroboyo, arek-arek
malang, dan santri-santri pesantren. Atas jasa mereka, setiap tahun pada
tanggal 10 November selalu diperingati Hari Pahlawan Nasional. Hal itu untuk
mengenang jasa semua pahlawan Indonesia, baik pahlawan yang memerdekakan
Indonesia, maupun memertahankan kemerdekaan Indonesia.
Indonesia Masih Terjajah
Hari
Pahlawan selalu diperingati dengan peringatan yang besar. Merenungi jasa
pahlawan, mengambil hikmah dari perjuangan pahlawan menjadi agenda rutin
masyarakat di Indonesia. Begitu besar jasa para pahlawan untuk memerdekakan dan
memertahankan kemerdekaan.
Memang
secara fisik Indonesia sudah merdeka. Indonesia tidak perlu lagi merasakan
perang yang besar atau pengorbanan nyawa yang banyak. Namun nyatanya, secara
non fisik Indonesia masih belum merdeka.
Berbagai
bidang di negeri ini ternyata masih mengalami keterpurukan. Pada bidang
ekonomi, Indonesia masih dihantui dengan kebijakan kapitalisasi luar negeri. Rakyat
masih banyak yang belum sejahtera. Hutang Indonesia kian meningkat. Layaknya
ayam mati di lumbung padi, hasil alam negeri ini sangat melimpah. Bahkan
apabila hutang tersebut dihitung, setiap jiwa yang telah lahir berhutang tujuh
juta rupiah untuk menutupi hutang negara. Diperparah lagi oleh adanya
saham-saham BUMN yang banyak dijual kepada asing.
Pada bidang hukum,
Indonesia juga masih diwarnai dengan praktik korupsi. Belakangan ini tidak
kurang dari 20 kasus korupsi berhasil diungkap olek Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Pelaku korupsi tidak lain dan tidak bukan adalah mereka yang
duduk di kursi pemerintah yang berkumpul dalam sebuah partai yang sama.
Indonesia juga masih mengalami masalah koordinasi antar lembaga pemerintahan.
Baru-baru ini KPK berselisih dengan Polri. Alih-alih saling membantu dalam
sebuah kasus, mereka malah saling ricuh memperebutkan kewenangan kasus
hambalang.
Pada bidang sosial
dan pendidikan, masih jauh rasanya apabila Indonesia dibilang sebagai negara
yang bernorma dan bermartabat. Generasi muda terjerumus pada gaya hidup
hedonisme, yang tidak mementingkan apapun kecuali untuk kesenangan mereka
sendiri. Sehingga hal ini menyebabkan generasi muda menjadi sosok yang jauh
dari norma-norma, bahkan jauh dari adat istiadat baik yang dibawa oleh leluhur.
Padahal keberlangsungan suatu negara adalah tergantung dari generasi muda yang
dimiliki.
Saatnya Berubah!
Sebagian
besar rakyat Indonesia pasti merasakan masalah-masalah tersebut. Dan mereka
pasti menginginkan adanya perubahan. Ya, perubahan yang membawa mereka lebih
sejahtera, layaknya dulu mereka hidup pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit
dan Sriwijaya.
Pancasila
dianggap sebagai cita-cita luhur dan murni bangsa ini. Namun mengapa cita-cita
tersebut tak kunjung terlaksana? Tidak lain dan tidak bukan karena bangsa ini
sendiri yang tidak berusaha sekuat tenaga mewujudkannya.
Nasionalisme
sebuah Negara selalu diagung-agungkan. Namun nyatanya, Nasionalisme memiliki
kelemahan yang sangat fatal. Yaitu, Nasionalisme akan bangkit ketika ada sebuah
momen-momen tertentu saja. Ketika tidak ada momen yang dapat membangkitkan,
maka kesadaran tentang Nasionalisme akan hilang. Tidak heran apabila bangsa ini
tidak bisa berusaha sekuat tenaga mewujudkan cita-cita luhur dan murni yang ada
pada Pancasila.
Mungkin
sebagian dari kita akan berfikir, apabila memang Nasionalisme akan bangkit
ketika ada momen-momen tertentu, maka kita harus bisa membuat momen-momen
tersebut. Jawabannya ternyata tidak bisa seperti itu. Karena apabila melakukan
hal tersebut sebagai sebuah solusi, pasti akan ada pemborosan. Setiap kita
melakukan kegiatan untuk membangkitkan Nasionalisme bangsa, maka kita akan
mengeluarkan banyak uang. Apalagi negeri ini masih dililit dengan hutang yang
banyak, pasti akan menyebabkan kondisi ekonomi Indonesia semakin terpuruk.
Apabila para
pahlawan yang berjuang memerdekakan negeri ini masih hidup dan melihat keadaan
negara dan bangsa, mungkin mereka akan menangis, marah atau jengkel. Mereka
akan menyesal mengorbankan harta dan nyawa mereka untuk anak bangsa, namun anak
bangsa tersebut tidak bisa mengelola dan menjaga kemerdekaan yang hakiki. Dan
anak bangsa akan malu ketika dihadapkan dengan kondisi tersebut.
Tentu kita
tidak ingin hal itu terjadi. Maka inilah saatnya kita berubah. Kita membutuhkan
suatu hal yang lebih daripada Nasionalisme, kita membutuhkan suatu penggerak
bangsa yang tidak dibatasi oleh sebuah momen tertentu saja, dan kita
membutuhkan perubahan yang dapat memajukan dan menyejahterakan bangsa. (bill, 2012.)
lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali!
0 komentar:
Posting Komentar
Masih kurang jelas? Tuliskan komentar / pertanyaanmu disini!